Anyaman Bambu pada Sebuah Zaman



Anyaman merupakan kerajinan tangan asli dari Indonesia. Banyak bahan yang dapat dijadikan menjadi anyaman. Misalnya saja batang tumbuhan yang telah dikeringkan seperti bambu. Proses menganyam yang berbahan dari bambu di mulai dengan memotong bambu menjadi bagian-bagian kecil dan pipih, atau dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah irat.




Kerajinan anyaman bambu diperkirakan telah ada sejak zaman Hindu-Budha, karena pada masa dakwah Sunan Kudus anyaman ini telah berkembang sedemikian rupa. Menurut pendapat masyarakat setempat, kerajian tersebut semakin dikenal luas pada masa Saridin, salah satu dari murid Sunan Kudus. Kerajian ini diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.


berdasarkan tempat. Seperti daerah Jepang Wetan memproduksi tambir, kalo (alat tempat memeras parutan kelapa untuk mendapatkan sari patinya), dan irat. Pada daerah Jepang Pendem menghasilkan bandulan (ayunan untuk bayi), kepang (dinding dari anyaman bambu), dan ekrak (tempat sampah), serta kurungan. Besek (wadah makanan) sendiri diproduksi oleh warga Karang Pojok yang masih termasuk wilayah desa Jepang. Untuk produk caping (penutup kepala yang biasa digunakan orang-orang desa) didatangkan dari Magetan, Jawa Timur.



Proses Pembuatan
Dalam pembuatan anyaman bambu, langkah pertama adalah memilih bambu yang memiliki serat padat agar mudah dibentuk. Sampai sejauh ini, warga mendatangkan bambu dari daerah Magelang dan Jepara karena bambu lokal terlalu kecil dan sulit dibentuk. Selanjutnya, teknik pembuatan antara produk satu dengan yang lainnya hampir sama. Seperti misalnya, pembuatan tambir dan tampah. Langkah awal bambu diirat, kemudian dijemur, setelah itu nami (menganyam), dan selanjutnya digapit (dibentuk), diberi batasan, dicetak, setelah itu dijejet (diberi tali) berupa rafia atau njalin (dari serat tumbuh-tumbuhan). Untuk tambir, pada proses gapit cukup dipangku saja. Pada tampah, proses gapit memerlukan pencetakan khusus yang biasanya dibantu oleh laki-laki.
 
Pemasaran Produk
Puluhan tahun yang lalu, produk anyaman bambu dijual di pasar Kliwon. Karena jarak tempuh yang jauh, para pengrajin memassarkannya di pertigaan Jepang atau yang lebih dikenal dengan istilah pasar pertelon. Saat ini, pengrajin tidak lagi memasarkannya di pasar, namun cukup membuatnya di rumah masing-masing, yang nantinya dijual ke pengepul (bakul).
Namun kini, mahalnya harga bambu menjadi kendala tersendiri bagi para pengrajin. Harga bahan utama berjumlah Rp. 17.000, dengan rincian harga setengah meter bambu Rp. 10.000 dan harga untuk pembatasnya Rp. 8.000.

Tetap Lestari
Warga Desa Jepang percaya bahwa anyaman tidak akan terkikis oleh zaman, sebab masyarakat akan selalu membutuhkannya. Bahkan, sekarang banyak pensiunan karyawan swasta yang menekuni bidang ini.
“Anyaman bambu tetap akan selalu ada, karena diwariskan dari generasi ke generasi. Dan sudah menjadi seperti sesuatu yang niscaya bahwa anyaman bambu akan selalu ada dan dibutuhkan. Mungkin saat ini animo masyarakat menurun, namun kami akan berusaha menaikkan pamornya lagi.” Tutur salah satu pengrajin.

Reportase : Arofatul Ulya


Previous Post
Next Post

0 Comments: