Kudus merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki banyak
peninggalan sejarah budaya dari masa lalu. Salah satunya adalah Langgar
(Musholla) Gandul yang berada di desa Jepangpakis RT 03 RW 04 Dukuh Krajan Kidul
Kecamatan Jati Kabupaten Kudus. Langgar dengan nama asli Daruttaqwa ini terbilang
istimewa dan ditetapkan ke dalam benda cagarbudaya yang harus dilestarikan. Tak
hanya bentuk bangunannya yang unik dan mungil, namun tempat ini juga telah berusia
ratusan tahun dan tetap kokoh berdiri hingga sekarang, bahkan masih digunakan untuk
shalat berjama’ah dan kegiatan keagamaan lainnya.
Asal Usul
Berawal dari ide sang kepala desa, H. Dangkal Tumon yang ingin membuat
langgar sepulangnya dari tanah suci. Kemudian ide ini dilanjutkan oleh H. Abdul
Karim, kerabatnya. Pembuatannya diawali dengan memesan kayu jati terbaik dari Sukolilo
Pati, pada tahun 1854 M. Selanjutnya, kayu-kayu tersebut dikirim dan ditampung
di rumah H. Abdul Karim untuk kemudian dibangun menjadi langgar. Pada awalnya,
langgar yang belum ada namanya itu, dibangun di sebelah tenggara Musholla Darul
Muslimin RT 5 RW 04 desa setempat, berdekatan dengan rumah H. Abdul Karim.
Awal mulanya, langgar tersebut hanya diperuntukkan bagi para tamu
sang pemilik langgar. Namun, berkat masukan dari Mbah Karimun Toyib dan Mbah
Umar Kusmin, kedua kerabat beliau yang juga diberi amanat untuk mengurus langgar,
maka H. Dangkal Tumon membuka langgar tersebut untuk masyarakat sekitar.
Namun, karena H. Dangkal Temon adalah seorang kepala desa, dan termasuk
orang yang disegani pada masa itu, warga sekitar pun merasa sungkan untuk beribadah
di langgar tersebut. Tak kehilangan akal, Mbah Karimun Toyib berinisiatif mengajak
para santrinya untuk sholat dan mengaji di langgar tersebut, bahkan beliau secara
khusus mendatangkan guru ngaji dari luar untuk mengajari ilmu agama pada masyarakat
sekitar. Namun, hal itu tidak memberikan perubahan yang signifikan. Langgar tetap
sepi peminat, dan dibiarkan menganggur bertahun tahun.
Melihat hal itu, Mbah Karimun Toyib berrsama Mbah Umar Kusmin, bermusyawarah
dengan H. Sunjoyo, cucu H. Abdul Karim. Akhirnya, pada tanggal 3 November 1917,
langgar tersebut dipindahkan secara gotong-royong, dan ditempatkan di atas tanah
milik H. Sunjoyo, hingga sekarang ini. Agar mudah mengingatnya, langgar ini dijuluki langgar gandul,
karena alasnya menggantung (nggandul)
di atas tanah dengan ditopang oleh tiang penyangga. Hingga sekarang, masyarakat lebih mengenal nama langgar gandul
daripada nama langgar itu sendiri.
Keunikan Langgar
Langgar yang berukuran 7 X 6 meter ini berdiri di atas tanah seluas
sekitar 1750 meter persegi. Dengan tinggi kira-kira 500 sentimeter. Pada kanan-kiri
langgar terdapat jendela kayu dengan ukuran 50 sentimeter.
Langgar ini tergolong istimewa karena seluruh bangunannya terbuat dari
kayu jati terbaik pada zamannya. Usianya pun sudah ratusan tahun, namun tetap kokoh
berdiri dan dilestarikan. Salah satu upaya pelestariannya dengan perenovasian yang dilakukan secara
swadaya oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga keawetan langgar, dan bukan
karena kerusakan yang berarti di langgar tersebut. Renovasi pertama dilakukan antara
tahun 80 sampai 90an. Renovasi yang kedua dilakukan pada tahun 2013.
Meski tak mewah, langgar tersebut tak pernah sepi peminat. Berbagai
acara keagamaan yang diadakan oleh pengurus dan ide kreatif pemuda setempat, sering diadakan
di langgar ini. Acara-acara tersebut misalnya pengajian, ngajikitab, jam’iyyahan,
dan lain sebagainya.
Oleh : Arofatul Ulya
0 Comments: